Jalanjalan.it.com – Mengulas sejarah dan makna Festival Sekaten di Yogyakarta sebagai warisan budaya Islam Jawa yang penuh nilai filosofi.
Pendahuluan
Yogyakarta, selain dikenal sebagai kota pelajar dan pusat kebudayaan Jawa, juga memiliki beragam tradisi unik yang masih lestari hingga kini. Salah satu tradisi paling terkenal adalah Festival Sekaten, sebuah perayaan tahunan yang sarat dengan nilai sejarah, budaya, dan religius.
Festival ini bukan sekadar pesta rakyat, tetapi juga bentuk penghormatan terhadap penyebaran agama Islam di tanah Jawa. Hingga saat ini, Sekaten masih diselenggarakan secara meriah oleh Keraton Yogyakarta, dan menjadi daya tarik wisata budaya yang selalu dinanti setiap tahunnya.
Asal Usul dan Sejarah Festival Sekaten
Kata “Sekaten” diyakini berasal dari kata “Syahadatain”, yaitu dua kalimat syahadat dalam ajaran Islam: pengakuan atas keesaan Allah dan kenabian Muhammad SAW. Tradisi ini awalnya diperkenalkan oleh Wali Songo, khususnya Sunan Kalijaga, sebagai bagian dari strategi dakwah untuk menyebarkan agama Islam di tanah Jawa pada abad ke-15.
Ketika Islam mulai berkembang di kerajaan Demak, Wali Songo menciptakan cara dakwah yang selaras dengan budaya lokal. Mereka menggabungkan nilai-nilai Islam dengan seni dan adat istiadat Jawa agar masyarakat mudah menerima ajaran baru tanpa merasa kehilangan jati diri.
Untuk menarik masyarakat agar datang ke masjid dan mengenal Islam, Sunan Kalijaga menggelar acara musik gamelan di halaman masjid. Gamelan ini dinamakan “Gamelan Sekaten”, yang dimainkan saat peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW. Dari sinilah tradisi Sekaten bermula dan kemudian berkembang ke berbagai daerah, termasuk Yogyakarta dan Surakarta.
BACA JUGA : Desa Adat Sade: Pesona Budaya Sasak yang Masih Terjaga
Perkembangan Festival Sekaten di Yogyakarta
Setelah berdirinya Kasultanan Yogyakarta pada abad ke-18, tradisi Sekaten menjadi bagian resmi dari upacara keraton. Setiap tahun, perayaan Sekaten di selenggarakan di Alun-Alun Utara Keraton Yogyakarta dan Masjid Gedhe Kauman.
Festival ini biasanya berlangsung selama seminggu penuh, di mulai dari upacara keluarnya Gamelan Sekaten dari Keraton hingga puncak acara yang di kenal sebagai Garebeg Maulud.
Upacara ini memiliki urutan dan simbolisme yang sangat khas:
- Miyos Gongso (Keluarnya Gamelan Sekaten) – Dua perangkat gamelan pusaka, Kyai Guntur Madu dan Kyai Nogowilogo, di bawa keluar dari keraton menuju Masjid Gedhe Kauman.
- Pementasan Gamelan Sekaten – Gamelan di mainkan setiap hari untuk menarik masyarakat berkunjung ke masjid dan mengikuti pengajian.
- Puncak Garebeg Maulud – Di laksanakan pada tanggal 12 Rabiul Awal, bertepatan dengan peringatan kelahiran Nabi Muhammad SAW, di tandai dengan kirab Gunungan dari Keraton ke Masjid Gedhe.
Makna Filosofis Festival Sekaten
Festival Sekaten memiliki makna yang mendalam, baik secara spiritual maupun sosial budaya.
- Simbol Dakwah Islam
Sekaten adalah simbol keberhasilan para wali dalam menyebarkan Islam dengan pendekatan budaya. Melalui gamelan dan perayaan, masyarakat Jawa tertarik mendekat ke masjid, mendengarkan ceramah, dan memahami ajaran Islam secara damai. - Perpaduan Budaya Jawa dan Islam
Sekaten mencerminkan harmoni antara budaya lokal dan nilai-nilai Islam. Tradisi ini menunjukkan bahwa Islam di Jawa berkembang dengan cara yang menghormati budaya dan tradisi nenek moyang. - Makna Sosial dan Ekonomi
Selain upacara sakral, Sekaten juga menjadi ajang berkumpulnya masyarakat dari berbagai daerah. Di sekitar alun-alun, di selenggarakan pasar malam Sekaten, yang menjual berbagai kuliner, permainan tradisional, dan hasil kerajinan lokal. Ini memberikan dampak ekonomi positif bagi masyarakat sekitar. - Makna Spiritual
Puncak perayaan Sekaten, yaitu Garebeg Maulud, melambangkan rasa syukur atas kelahiran Nabi Muhammad SAW serta ajakan untuk mempertebal iman dan semangat kebersamaan.
Gamelan Sekaten: Warisan Sakral yang Unik
Salah satu elemen paling penting dalam Festival Sekaten adalah Gamelan Sekaten. Gamelan ini berbeda dengan gamelan biasa, baik dari segi ukuran maupun suara. Ukurannya lebih besar, dengan suara yang dalam dan bergema kuat.
Terdapat dua set gamelan pusaka:
- Kyai Guntur Madu
- Kyai Nogowilogo
Keduanya hanya di mainkan setahun sekali, khusus untuk acara Sekaten. Suara gamelan yang menggema di percaya membawa berkah bagi siapa saja yang mendengarnya, dan banyak masyarakat yang datang untuk menyaksikan langsung pertunjukan tersebut.
Bahkan, ada kepercayaan bahwa siapa yang dapat menyentuh atau berada dekat dengan gamelan Sekaten akan mendapatkan keberuntungan. Meski kini lebih banyak di maknai secara simbolik, keyakinan ini menunjukkan betapa kuatnya pengaruh budaya dalam kehidupan masyarakat Yogyakarta.
Festival Sekaten Masa Kini
Hingga kini, Sekaten tetap menjadi salah satu festival budaya terbesar di Yogyakarta. Setiap tahunnya, ribuan pengunjung dari dalam dan luar negeri datang untuk menyaksikan rangkaian upacara, musik gamelan, dan pasar rakyat.
Namun, seiring perkembangan zaman, pemerintah daerah dan pihak Keraton Yogyakarta terus berupaya menjaga keseimbangan antara tradisi dan modernitas. Unsur spiritual dan budaya tetap di pertahankan, sementara aspek hiburan di kemas lebih menarik agar bisa di nikmati generasi muda tanpa mengurangi nilai sakralnya.
Kesimpulan
Festival Sekaten di Yogyakarta bukan hanya perayaan budaya, tetapi juga simbol harmonisasi antara agama, seni, dan tradisi Jawa. Dari awalnya sebagai sarana dakwah Islam hingga kini menjadi atraksi budaya internasional, Sekaten membuktikan bahwa nilai-nilai luhur bisa di wariskan lintas generasi. Melalui gamelan, upacara adat, dan pasar rakyat, Sekaten mengajarkan pentingnya kebersamaan, penghormatan terhadap sejarah, serta rasa syukur kepada Sang Pencipta. Tradisi ini menjadi bukti nyata bahwa kebudayaan dan spiritualitas dapat berjalan berdampingan, membentuk identitas unik yang terus hidup di hati masyarakat Yogyakarta.